

Saat ditemui di kampus UNEJ, Asrofi bersyukur dapat mempertahankan prestasi kelas dunia ini. Ketika ditanya apa resepnya menjadi dosen yang istiqomah meneliti, pengajar di Program Studi Teknik Mesin ini menyebut ada tiga hal yang dia lakukan. Pertama membiasakan membaca jurnal ilmiah untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama bidang ilmu material yang ditekuninya. Asrofi menargetkan membaca lima tulisan ilmiah setiap harinya.
Kedua harus adaptif dan siap untuk kolaboratif, sebab perubahan makin sering terjadi sehingga kerja sama menjadi kata kunci. Asrofi kini tidak lagi mengkotak-kotakkan diri hanya pada penelitian mengenai ilmu material dan keteknik mesinan saja. Salah satu buktinya dia banyak bekerja sama dengan Prof. Bambang Kuswandi yang berlatar belakang Kimia di Fakultas Farmasi.“Namun di balik semua pencapaian ini, saya terus berusaha melandasi semua penelitian sebagai salah satu bentuk ibadah,” ungkap pria yang akrab disapa Asrofi ini.
Pria asli Sidoarjo ini kini banyak meneliti materi alam untuk plastik ramah lingkungan atau bidang bio compostable yang materinya berasal dari tanaman atau limbah hasil pertanian. Penelitian terbaru yang dikerjakan adalah plastik ramah lingkungan berbahan limbah pelepah pisang. Pemilihan pelepah pisang mengingat bahannya mudah di dapat dan memiliki potensi besar dikembangkan di Jember dan sekitarnya yang memang wilayah subur pertanian dan perkebunan. Pelepah pisang selama ini dianggap limbah dan jarang dimanfaatkan, sehingga pemanfaatan ini sekaligus mendukung prinsip circular economy dan pengurangan limbah pertanian.
“Pilihan pada limbah pelepah pisang juga karena dari riset ditemukan kandungan selulosanya tinggi, antara enam puluh hingga delapan lima persen. Ini membuat pelepah pisang sangat potensial untuk diolah menjadi nano selulosa sebagai penguat biokomposit,” jelas Asrofi.
Ketiga, sifat mekaniknya kompetitif. Beberapa penelitian melaporkan serat pelepah pisang memiliki kekuatan tarik sekitar 500–900 MPa dan modulus elastisitas 5–25 GPa, yang sebanding bahkan kadang lebih tinggi dibandingkan serat alam lain seperti bambu atau sabut kelapa. Hal ini membuatnya sangat potensial untuk aplikasi green packaging yang memerlukan kekuatan, namun tetap ramah lingkungan.
Secara sederhana, prosesnya bisa digambarkan seperti ini: pelepah pisang yang biasanya dianggap limbah pertanian terlebih dahulu dibersihkan, kemudian seratnya diambil dan diolah menjadi serbuk halus. Serbuk ini kaya akan selulosa yang sifatnya kuat dan ramah lingkungan. Selanjutnya, serbuk tersebut dicampurkan dengan bahan dasar biopolimer menggunakan alat khusus bernama extruder. Alat ini berfungsi mencampur sekaligus melelehkan bahan sehingga terbentuk benang panjang biokomposit, atau disebut filament. Dari filament inilah kemudian dipotong-potong kecil menjadi bentuk butiran, yang kita kenal sebagai pelet biokomposit.
Pelet inilah yang nantinya menjadi bahan baku siap pakai. Sama seperti pelet plastik konvensional, pelet biokomposit ini bisa diproses lebih lanjut dengan teknik injection molding atau film blowing untuk membuat produk nyata, misalnya kemasan ramah lingkungan. Dengan cara ini, limbah pelepah pisang yang tadinya tidak bernilai bisa berubah menjadi material baru yang berdaya guna tinggi.
Asrofi tidak hanya berhenti di lingkup laboratorium, hasil penelitiannya sudah diterapkan oleh mitra kerjasama industri bioplastik yang ada di Tangerang dalam bentuk tas kresek ramah lingkungan. Keunggulannya tas kresek ini bisa hancur bersatu dengan tanah menjadi kompos. Bahkan jika dilarutkan di air panas, maka tas kresek berbahan limbah pelepah pisang ini hancur seketika.
“Namun harga tas kresek berbahan limbah pelepah pisang ini masih mahal untuk ukuran masyarakat Indonesia, bisa dua hingga tiga kali lipat harga tas kresek konvensional. Memang butuh proses, harus ada edukasi, membangun literasi dan ekosistem mengenai manfaat pengurangan plastik konvensional agar masyarakat bisa paham dan akhirnya mau menggunakan plastik berbahan bio komposit,” imbuh Asrofi.
Senada dengan Asrofi, Prof. Bambang Kuswandi bersyukur berhasil mempertahankan prestasi ini. Menurut Wakil Rektor IV bidang Perencanaan, Kerja Sama dan Sistem Informasi UNEJ ini, istiqomah pada satu bidang menjadi salah satu resepnya ada di deretan dua persen ilmuwan berpengaruh dunia. Pria asal Sumenep ini memutuskan fokus meneliti bio sensor semenjak menempuh kuliah doktoral di Inggris.
Walaupun waktunya banyak tersita menjalankan amanah sebagai Wakil Rektor di UNEJ, dosen senior di Fakultas Farmasi ini terus melakukan riset. Caranya dengan berkolaborasi dengan sesama kolega dosen maupun mahasiswa yang dibimbingnya. Khususnya mahasiswa program doktoral. Penelitian terakhirnya mengenai pengembangan mikrofluida berbasis kertas sebagai penanda biologis untuk mendeteksi penyakit degeneratif semisal kadar gula pada penderita diabetes, kadar asam urat, kadar kolesterol dan lainnya.
“Sementara untuk riset kolaborasi, saya bersama Asrofi tengah mengembangkan penelitian pelepah pisang untuk bahan filtrasi air. Menanggapi tawaran kerja sama penelitian dari Kyoto University yang penelitinya hadir di kampus Tegalboto di awal bulan September lalu,” ungkap Prof. Bambang Kuswandi.
Sementara itu ditemui secara terpisah, Rektor UNEJ menyambut gembira raihan prestasi kedua dosen ini. Menurut Iwan Taruna, keberadaan dua dosen di daftar dua persen peneliti berpengaruh dunia tahun 2025 versi Stanford University bersama Elsevier BV membuktikan UNEJ mampu berbicara di tingkat dunia.
“UNEJ terus mendorong dosennya untuk terus meneliti, mempublikasikan di jurnal ilmiah nasional dan internasional hingga hilirisasi hasil riset. Beberapa skema yang sudah dilakukan dengan hibah penelitian, termasuk juga insentif bagi peneliti yang berhasil mempublikasikan risetnya di Scopus atau Web of Science,” tutur Iwan Taruna. (*)