
Dr. Eka Ruriani, STP, MSi
Staf Pengajar Program Studi TIP FTP Universitas Jember
Tim Kelompok Riset “Pangan ASUH” FTP Universitas Jember
Peningkatan permintaan dan preferensi konsumen terhadap produk pangan yang bermutu tinggi dan aman dikonsumsi, menstimulus pengembangan dan inovasi teknologi pengemasan sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari produk pangan. Teknologi pengemasan mempunyai peranan penting dalam industri pangan seperti antara lain untuk proses pengawetan makanan, pencegahan kontaminasi, penundaan proses pembusukan, dan penghambat susut bobot. Terlebih di masa pandemic COVID-19, konsumen menuntut kemasan hiegenis yang mampu melindungi produk pangan terbebas dari kontaminasi luar terutama virus atau mikroba lain yang bisa menempel pada makanan.
Secara umum, bahan pengemas produk pangan yang ideal harus bersifat inert, mampu mencegah terjadinya transfer material, mempunyai properti penghambat yang sempurna dan dapat didaur ulang (eco-friendly). Adapun suatu bahan kemasan dapat dikategorikan sebagai active packaging (kemasan aktif) jika mampu memberikan fungsi pengawetan terhadap bahan pangan yang dikemasnya, tidak hanya sebagai inert barrier dari pengaruh lingkungan eksternal. The European ‘Actipak’ project menekankan bahwa kemasan aktif memperpanjang umur simpan bahan pangan yang dikemas dan meningkatkan sifat keamanan dan sensori produk, selain mempertahankan mutunya.
Pemikiran penggunaan teknologi kemasan aktif bukan hal yang baru, tetapi dari segi manfaat mutu dan nilai ekonomi teknik ini merupakan perkembangan terbaru dalam industri kemasan bahan pangan. Beberapa keuntungan teknologi pembuatan kemasan aktif adalah harga terjangkau (relatif terhadap harga produk yang dikemas), ramah lingkungan, mempunyai nilai estetika yang dapat diterima dan sesuai untuk sistem distribusi.
Secara teknis, kemasan akitif berfokus pada inkorporasi bahan tambahan tertentu ke dalam sistem kemasan dengan tujuan untuk mempertahankan atau memperpanjang mutu dan umur simpan produk. Berbeda halnya dengan kemasan konvensional yang bersifat pasif dalam melindungi produk, kemasan aktif dapat mengubah komposisi dan sifat organoleptik produk akibat adanya penambahan bahan aktif, sepanjang perubahan tersebut memenuhi secara konsisten persyaratan sebagai bahan pangan, artinya bahan aktif yang digunakan bersifat foodgrade. Beberapa bahan aktif atau dikenal juga sebagai ‘freshness enhancer’ yang biasa ditambahkan atau diaplikasikan pada kemasan aktif adalah penyerap bau, penyerap etilen, pengendali mikroba (anti-mikroba) dan penyerap/pelepas karbodioksida (CO2).
Pada prinsipnya, pengembangan kemasan aktif harus memenuhi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, bahan kemasan dan substansinya harus diproduksi sesuai dengan standar good manufacturing process (GMP), sehingga bahan tersebut tidak mentransfer konstituennya ke dalam produk pangan yang dikemasnya dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia atau membawa perubahan yang tidak diinginkan terhadap komposisi pangan. Kedua, jenis dan dosis bahan aktif yang digunakan sesuai dengan perundangan pangan nasional. Ketiga, kemasan wajib dilengkapi dengan label yang memberikan peringatan “Do Not Eat” untuk memudahkan konsumen dalam mengenali bagian yang tidak dapat dimakan, di saat ada kemungkinan bahwa bahan tersebut terlihat seperti dapat dimakan. Informasi tersebut harus visible, legible, dan indelible.
Salah satu contoh pengembangan kemasan aktif yang banyak dikembangkan dan sudah komersil adalah sistem pengemasan yang bersifat antimikroba (anti-microbial packaging). Sistem kemasan ini dapat terbentuk dengan cara antara lain: penambahan anti-microbial sachet ke dalam kemasan, pendispersian komponen bioaktif di dalam kemasan, coating komponen bioaktif pada permukaan bahan pengemas atau pemanfaatan makromolekul antimikroba yang diintegrasikan dalam edible film atau edible coating. Beberapa senyawa antimikroba yang cukup potensial untuk digunakan antara lain: etanol, CO2, ion perak, klorin dioksida, antibiotik, asam organik, minyak esensial dan rempah-rempah. Senyawa-senyawa tersebut telah diuji memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan.
Saat ini beberapa kemasan aktif dengan sistem anti mikroba telah diproduksi secara komersial. Salah satunya adalah produk kemasan aktif dengan sachet fungsi ganda dengan merk Ageless G yang diproduksi oleh Mitsubishi Gas Chemical Co. Japan dan FreshPax M yang diproduksi oleh Multisorb Technologies Inc. USA. Kedua produk kemasan tersebut dilengkapi dengan sachet yang berfungsi ganda sebagai anti-mikroba dan penyerap oksigen. Senyawa anti-mikroba yang digunakan adalah CO2 karena karakteristik spesifik gas ini yang bersifat fungistatic dan bacteriostatic. Gas karbondioksida telah teruji dapat mengurangi atau menghambat pertumbuhan bakteri, mempertahankan umur simpan produk yang dikemas, dan memperlambat laju respirasi berbagai produk. Dalam prakteknya, sachet anti-mikroba berbasis gas CO2 telah diaplikasikan dalam pengemasan daging kambing yang disimpan dalam suhu refigerator. Hasil uji stabilitas mikroba pada penyimpanan beku tersebut (suhu 1±1°C) selama 28 hari menunjukkan tidak ditemukannya Salmonella. Selain itu, stabilitas mikrobial daging kambing juga lebih meningkat dengan adanya inkorporasi sachet anti-mikroba berbasis gas CO2. Sebagai salah satu senyawa antimikroba yang bersifat volatil, CO2 secara teoritis dapat berpenetrasi lebih menyeluruh ke dalam matrik bahan pangan dan polimernya tidak perlu kontak langsung dengan bahan pangan tersebut. Hal ini merupakan kelebihan penggunaan CO2, sedangkan kekurangannya adalah dapat mengubah warna daging dan sayuran yang dikukus. CO2 dapat digunakan dalam konjungsi dengan penyerap oksigen untuk mempertahankan atmosfer yang diinginkan pada pengemasan produk-produk tertentu. Pada produk perikanan, daging segar dan olahan, keju dan produk yang dipanggang, dibutuhkan CO2 dengan konsentrasi yang tinggi karena dapat mempertahankan sifat organoleptik produk dan menimbulkan efek bakteriostatik.
